Sabtu, 02 Februari 2013

Kisah Rizqi-Ku

Oleh : Ida Farida, S.S
 “Ma, pusing…”
Kuraba kening putera bungsuku, yang baru pulang dari sekolah. Panas. “Waduh, kenapa, ya?” Batinku bertanya.
“Tadi Ade di sekolah main apa?”
“Tidak main apa-apa, kok. Biasa, cuma gegelutan  sama Qorri.”
“Jajan?” Tanyaku lagi.
Dia menggeleng. “Kan, bawa bekal mi goreng. Ade cuma makan itu.” Jawabnya cepat.
“Ya, sudah, Ade ganti baju terus istirahat. Mudah-mudahan bangun tidur, Ade baikan lagi.”
Putera bungsuku menurut apa kataku. Berjalan lemah dia mengambil baju bekas kemarin yang tergantung di kapstok. Dan ganti menggantung baju seragam sekolahnya.

 “Pokoknya, tidak ada jajan kalau PR belum selesai!” Sambil bersingut marah kuberanjak ke dapur, meneruskan gorengan yang kutinggalkan.
Anakku menangis kesal. Tak kupedulikan.
“Astagfirullahal ‘adziim. Ya, Allah meni ngadoja boga budak teh” hati ini menjerit. Aku ingin sekali memberikan apa pun yang anak-anaku pinta. Tapi apa daya, kalau saja bukan karena lillitan ekonomi…

Dulu aku berfikir, bahwa aku selalu benar. Apapun yang kulakukan, itulah yang menurutku terbaik untuk putera-puteriku. Sehingga aku sering sekali memaksakan apa yang kumau kepada anak-anakku, meski mereka enggan melakukannya.
Intruksi. Begitulah gayaku mendidik anak. Teknik orang tua dulu, bahwa anak itu di bawah aturan orang tua. Ketakutan mendapat pengaruh buruk dari lingkungan, harapan agar anak-anak menjadi lebih baik dari diriku, mendorongku mendidik anak-anakku dengan gaya perintah. Anak harus dikenalkan pada kedisiplinan sedini mungkin. Mencegah hal-hal yang tidak diharapkan di kemudian hari nanti.

Namaku Aisyah. Seorang ibu rumah tangga yang memiliki tiga orang anak, dua putera dan satu puteri. Suamiku bernama Trisna Sukmawansyah, seorang karyawan pabrik benang yang berpenghasilan tidak lebih dari delapan ratus ribu per bulannya.
Putera pertamaku bernama Rizal M.Furqon atau biasa kupanggil Boyang, bersekolah di SMK Putera Pajajaran kelas 3. Yang kedua seorang puteri bernama Anisa Nur Azizah, seorang siswi madrasah tsanawiyah. Dia tinggal dengan neneknya di Majalengka. Dan si bungsu, yang paling bule dan paling kasep, Rizqi Hafidzul Furqon, baru kelas satu di SD Juara Bandung.

Dan memang seperti apa yang kupikirkan, begitulah Allah menjadikan.
Putera petamaku, termasuk anak yang sangat berbakti pada ibunya. Sopan, selalu mau membantu, dan betah di rumah. Meskipun dia sesekali bermain dengan teman-temannya, tapi dia seorang kakak yang sangat menyayangi adiknya. Aku bangga padanya.
Yang kedua, puteriku. Kutitipkan dia di neneknya di Majalengka. Bukan kuingin menjauhkannya, bukan karena kesulitan ekonomi, tapi kembali, kufikir lebih baik bagi anak yang baru memasuki usia remaja, memperbanyak ilmu agama, agar jadi dasar untuk hidupnya. Jadi kumasukkan dia di salah satu Madrasah Tsanawiyah di Majalengka, meski itu bukan keinginannya. Aku tahu dan yakin sekali bahwa dia ada di arah yang benar. Insyaallah. 

Panasnya semakin tinggi. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Aku semakin khawatir. Demikian juga suamiku. Akhirnya dengan uang yang ada, meski itu modal untuk membuat gorengan besok, aku minta suamiku membeli obat panas ke apotek. Anakku mengigau. Aku semakin khawatir.
30 menit kemudian, suamiku datang dengan obat panas yang telah dibelinya dari apotek. Segera kuminumkan ke anakku. Alhamdulilah, tak berapa lama panasnya agak turun. Dia terlihat tidur dengan nyenyak. Aku pun lega.
Kurogoh saku baju dasterku. Kukeluarkan uang kembalian obat tadi. Aku tersenyum. Meski tak sejumlah hari-hari lain, aku yakin uang ini masih bisa kujadikan modal untuk membuat gorengan esok hari. Ya, tanggal tua. Tak mungkin kuandalkan gaji suamiku yang biasanya habis dalam dua minggu. Alhamdulillah, masih bisa kuucap kalimat itu ketika melihat nyenyak tidur suami dan putera bungsuku.

Satu minggu sudah, kuberhenti jualan masakan. Putera bungsuku terkena cacar! Ya, memang sedang musim. Kata wali kelas anakku yang bernama bu Ida, beberapa murid SD Juara lainnya juga sedang terserang cacar.
Kutemani putera bungsuku. Dia yang memang manja, semakin manja ketika sakit. Tidur harus selalu ditemani ibu, tidak mau ditemani ayah atau kakak. Padahal ketika sehat, dia tidur bersama kakaknya.
Keuangan keluarga harus kuatur sedemikian rupa. Ketika putera bungsuku sakit, aku tidak dapat optimal membantu suamiku dalam mencari maisyah.

Tergesa-gesa aku berganti baju. Tadi di pasar, ketika aku sedang menitip gorengan yang kubuat, aku bertemu dengan Mama Arbi. Aku heran, kok, dia ada di pasar, padahal kan harusnya pergi kerja. Kusapa, dan kutanya mengapa. Ternyata hari ini dia minta ijin dari tempat kerja karena ada konseling di sekolah. Ya, putera bungsunya satu sekolah bahkan satu kelas dengan putera bungsuku.
Segera kuantarkan gorengan yang telah kubuat, di kios-kios yang biasa kutitipi. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus kuselesaikan hari ini, jika aku ingin pergi ke sekolah. Setelah selesai, kubergegas menuju rumah.
Sampai di depan rumah kubuka pintu perlahan. Di belakang pintu ada putera bungsuku yang sedang tidur. Ruang tamu, khususnya di depan televisi adalah tempat favoritnya ketika sakit. Tidak ada kursi atau sofa di sana. Hanya ada karpet dan selembar kasur tipis yang menjadi alas.
Segera kubergegas ke kamar mandi. Kucuci peralatan dapur yang telah kugunakan membuat gorengan. Karena memang biasanya kucuci setelah kuselesai menitip semua gorengan yang telah kubuat.
Kalau bukan karena hari ini ada konseling di sekolah, tak mungkin kutinggalkan putera bungsuku yang sedang terkena cacar sendirian di rumah dan hanya kutitip tetangga. Tapi, ini konseling untuk orang tua. Kegiatan bulanan yang diadakan sekolah putera bungsuku itu, membuatku terpesona. Tak pernah sekali pun aku absen, bahkan kali ini, ketika putera bungsuku sedang terkena cacar!

Konseling adalah sebuah program yang dibidani oleh LSU, Learning Support Unit SD Juara, dalam halini bu Tyas, yang memang berusaha untuk mendukung segala proses pembelajaran. Itu yang kudengar dari bu Ida, wali kelas anakku.
Beberapa meteri dalam konseling, merupakan materi yang benar-benar up to date.
Di konseling sebelumnya. Dibahas masalah dunia maya. Dunia yang betul-betul tidak aku ketahui sebelumnya. Dunia yang sekarang lebih digandrungi abg bahkan anak-anak usia SD. Aku jadi tahu, apa itu chatting, facebook-an, atau game on-line. Meski aku belum pernah melakukannya sekali pun, tapi minimal aku punya bahan obrolan dengan putera-puteriku.
Pernah juga, ada semacam ceramah yang sangat menggetarkan hati. Bu Rindu, sang wakil kepala sekolah, yang membawakan acara itu. Hampir semua orang tua murid yang datang ketika itu, menangis, tak kuasa menahan haru di hati, mengingat semua lalai diri.
Atau juga konseling lainnya, yang langsung berhadapan dengan wali kelas. Biasanya hanya pada momen khusus pembagian rapot. Baik rapot UAS maupun UTS. Dalam acara itu, bu Ida memperlihatkan foto-foto kegiatan belajar kelas 1 selama rentang waktu tertentu. Menggembirakan sekali, kelihatannya. Dan aku pun jadi tahu, yang namanya anak belajar, tidak harus selalu duduk manis sidakep bari balem.
Apalagi aku tahu, putera bungsuku mempunyai kelemahan dalam menulis. Dia menulis lama sekali. Bukan karena dia tidak bisa, tapi elodan! Dia lebih senang dengan kegiatan-kegiatan seperti berlari atau bergerak bebas. “Take it easy, it’s not a big deal,” begitu bu Ida bilang ketika kuungkap kekhawatiranku tentang kekurangan anakku.
“Yakini, bahwa Allah telah memberikan potensi pada tiap diri manusia, anak kita. Dan tugas kita adalah menggali potensi-potensi diri anak-anak kita itu sehingga bisa teroptimalkan, dan berguna untuk siapa saja.” Begitu bu Ida sering memotivasi, ketika para ibu, termasuk aku hanya melihat sisi negatif dari para puteranya.
“Kita hidup di dunia ini hanya sekali, demikian pula anak-anak kita. Yuk, kita berikan kehidupan yang terbaik kepada mereka sebagai amanah dari Allah.” Aku tersindir.
Di kali lainnya, ada tentang pembelajaran Alquran kepada anak. Ustadz Destria pengisinya. Ternyata belajar Alquran bisa sangat menyenangkan, ya!
Di konseling terakhir yang aku ikuti kemarin, Bu Tyas, sang LSU, membahas tentang bagaimana kita mencegah pornografi mengeksploitasi anak kita. Aku bersyukur sekali tetap bisa datang ke konseling ini.
Sebenarnya, aku bisa saja mendengar materi atau kabar dari orang tua murid lainnya. Tapi tidak akan detil. Berbeda ketika mendengar langsung dari sumbernya.

Dan… Rizqiku benar-benar menjadi jalan rejeki untuk keluargaku. Selesai konseling, kubergegas setengah berlari menuju rumah. Aku akan mengambil roda dan meminta bantuan puteraku Boyang untuk mengangkut kertas-kertas bekas dari SD Juara. Pak Agus, salah satu pegawai Rumah Zakat dan kebetulan puteranya sekelas dengan puteraku, mengatakan bahwa di sekolah banyak kertas bekas yang akan dibuang. Kutanyakan, bolehkah kuminta, beliau pun mengiyakan.
Ini rejeki nomplok, harus kumanfaatkan sebaik mungkin, begitu batinku.
Tiba di rumah, seperti perkiraanku, putera pertamaku sudah pulang sekolah. Dia sedang makan.
Si bungsu lagi asyik nonton televisi. Begitu masuk, kucium keningnya, dia bertanya, “ Dari mana, Ma? “
“Dari sekolah Ade. Ade disini dulu, ya. Nonton tivi. Aa mau mama suruh dorong roda.”
“Dorong roda ke mana, Ma?”
“Ke sekolah Ade. Ada banyak kertas bekas, dan boleh kita ambil. Mudah-mudahan nanti bisa beli ayam goreng yang Ade mau.”
Putera bungsuku mengangguk lemah. Selesai Boyang makan, aku pun memakai sandal. Berjalan sedikit tergesa. Kasihan mama Zaidan yang menunggu di sekolah, aku minta beliau menunggui, khawatir ada orang lain yang mendahuluiku mengambil kertas-kertas bekas itu.
 Ya, selain membuat gorengan yang kutitipkan di warung dan beberapa kios di pasar, menjual masakan di depan rumah, aku pun membantu suamiku dengan mencari kertas-kertas bekas yang kemudian akan kuplih dan kujual. Lumayan, dari sampah orang lain, aku bisa menghasilkan uang untuk membantu perekonomian keluargaku. Aku pun ikut serta menjadi binaan Rumah Zakat, selain mendapat bantuan yang kujadikan modal membuat gorengan, aku pun diberi beberapa keterampilan lainnya. Salah satunya adalah mengolah bungkus kopi menjadi tas. Tas-tas itu bisa dijual dan menghasilkan uang.
Aku memang seorang perempuan, yang dalam kultur Sunda dianggap heureut lengkah. Kembali, kondisi ekonomi yang memaksaku memilih untuk bergerak. Bergerak membantu suamiku. Mencari tambahan, terutama untuk biaya sekolah putera-puteriku. Apa pun kulakukan, asal itu pekerjaan halal dan menghasilkan uang. Tanpa mengabaikan kewajiban utamaku sebagai ibu dan istri tentunya, insyaAllah.
Alhamdulillah, putera bungsuku sudah bisa kutinggalkan sendiri di rumah.
Aku bergegas kembali ke sekolah dengan hati yang gembira.


Banyak hal yang kudapat dari konseling di sekolah. Terutama cara mendidik anak. Aku yang selalu merasa benar dalam mendidik anak, aku yang selalu merasa lebih baik dari ibu-ibu yang lain, ternyata…
Berfikir positif tentang anak dan bahkan selalu mendoakannya memang sudah sesuai dengan ajaran agama. Tapi ternyata, agama pun menyuruh orang tua untuk mendidik anak dengan cara yang terbaik. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan lemah lembut, dengan kasih sayang, sehingga si anak bisa menurut karena keinginan sendiri bukan karena paksaan dari orang tua.
Ya, aku bisa melihat perbedaannya. Aku mencoba merubah gayaku dalam mendidik anak. Dan hasilnya, putera bungsuku ini memang berbeda dari dua kakaknya. Dia lebih berani mengungkap apa pun yang ada di pikirannya, baik itu benar atau pun salah. Berbeda dengan dua kakaknya yang cenderung diam dan hanya menurut ketika aku meminta mereka melakukan sesuatu. 
Aku pun lebih terlatih melihat sisi-sisi baik anak-anakku. Dan menjadi ibu yang lebih bisa berdiskusi dengan mereka.

Terima kasih, karena telah memberikan begitu banyak…
Terima kasih karena telah memberi tanpa pamrih…
Terima kasih…
Semoga semakin banyak masyarakat yang bisa merasakan manfaatnya…
Terima kasih Rumah Zakat.

Terngiang lagi kata-kata bu Ida, “Berfikir positiflah tentang anak-anak kita. Karena Allah akan mengembalikan mereka kepada kita kelak, seperti apa yang kita fikirkan.” (Abu Syauqi-red)
Kuiringi anakku mendorong roda, seulas senyum tersungging, sebait asa terbangun. Dan aku pun berazam ...

Bandung, 1 April 2011
Seperti dituturkan Bu Aisyah kepada penulis


SHARE THIS

Author:

Etiam at libero iaculis, mollis justo non, blandit augue. Vestibulum sit amet sodales est, a lacinia ex. Suspendisse vel enim sagittis, volutpat sem eget, condimentum sem.

0 komentar: